iT's Me

iT's Me

Rabu, 17 Maret 2010

Para Ibu Yang Di Abadikan


Di antara taujih Al Qur'an adalah bahwa Al Qur'an telah meletakkan di hadapan orang-orang yang beriman (laki-laki atau wanita) berbagai contoh teladan dari para ummahat shalihat, yang mempunyai pengaruh dan peran penting di dalam sejarah keimanan.

Di antaranya adalah ibu dari Nabi Musa yang memenuhi seruan wahyu Allah dan llham-Nya, lalu melemparkan buah hatinya ke dalam lautan dengan penuh ketenangan dan percaya penuh terhadap janji Rabb-nya. Allah berfirman:

"Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikan kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul." (Al Qashash: 7)

Dan ibunya Maryam yang bernadzar ingin mempunyai anak yang ikut membebaskan "Baitul Maqdist" karena Allah, bersih dari segala bentuk kemusyrikan atau 'ubudiyah kepada selain-Nya. Ia berdoa agar Allah berkenan menerima nadzarnya itu, Allah SWT berfirman:

"(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernadzar kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis), Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Ali 'Imran: 35)

Maka ketika anak yang baru lahir itu ternyata perempuan di luar harapan yang diinginkan, ia tetap dalam kesetiaan untuk memenuhi nadzarnya, sambil memohon kepada Allah SWT agar Allah melindunginya dari segala keburukan, Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syetan yang terkutuk." (Ali 'Imran: 36)

Maryam puteri Imran itu adalah Ibunya Al Masih yang telah dijadikan oleh Al Qur'an sebagai lambang kesucian dan ketaatan kepada Allah serta meyakini kalimat-kalimat-Nya. Allah SWT berfirman:

"Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat." (At-Tahrim: 12)

Terciptanya Wanita


Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?

Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.

Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:

Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).

Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.

Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."192

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.

Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.

Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya.

Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:

Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).

Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:

Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).

Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.

Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).

Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).

Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).

Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.

Kedudukan Wanita Dalam Islam


Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan."190

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."191

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.

Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.

Pakaian Wanita


 Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah  untuk  pakaian yaitu,  libas,  tsiyab,  dan  sarabil.  Kata  libas  ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.    Libas  pada  mulanya  berarti  penutup --apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian  sebagai  penutup  amat  jelas.  Tetapi,  perlu dicatat  bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian  jari  juga  disebut  libas,  dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.    Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14 menyatakan bahwa,        Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara      lain mutiara) yang kamu pakai.    Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk  menunjukkan  pakaian lahir  maupun  batin,  sedangkan  kata  tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari  kata  tsaub yang  berarti  kembali,  yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya  sesuai  dengan  ide pertamanya.    Ungkapan  yang  menyatakan,  bahwa  "awalnya  adalah  ide  dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin  dapat  membantu  memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal,  karena  kenyataan  adalah cerminan dari ide asal.   Apakah ide dasar tentang pakaian?    Ar-Raghib  Al-Isfahani  --seorang  pakar   bahasa   Al-Quran-- menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian  adalah  agar  dipakai.  Jika bahan-bahan   tersebut   setelah   dipintal  kemudian  menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide  dasar keberadaannya.   Hemat   penulis,   ide   dasar   juga   dapat dikembalikan  pada  apa  yang  terdapat  dalam  benak  manusia pertama tentang dirinya.    Al-Quran  surat  Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga:        Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk      menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari      mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu      melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua      tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang      yang kekal (di surga)."   Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:        ...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)      itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan      mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...    Terlihat jelas  bahwa  ide  dasar  yang  terdapat  dalam  diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan  demikian,  aurat  yang  ditutup dengan  pakaian  akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti  "sesuatu  yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.    Dan  ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran  setan  adalah "keterbukaan  aurat".  Sebuah  riwayat  yang  dikemukakan oleh Al-Biqa'i  dalam  bukunya  Shubhat  Waraqah  menyatakan  bahwa ketika  Nabi  Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di  Gua  Hira  --apakah  dari  malaikat  atau  dari setan--  beliau  menyampaikan  hal  tersebut  kepada  istrinya Khadijah. Khadijah  berkata,  "Jika  engkau  melihatnya  lagi, beritahulah  aku".  Ketika  di  saat  lain  Nabi  Saw. melihat (malaikat) yang  dilihatnya  di  Gua  Hira,  Khadijah  membuka pakaiannya  sambi1  bertanya,  "Sekarang,  apakah engkau masih melihatnya?" Nabi  Saw.  menjawab,  "Tidak,  ...  dia  pergi." Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang bukan setan, ...  (karena  hanya  setan  yang  senang  melihat aurat)".   Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:        Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu      dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu      orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah      mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia      menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan      kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:      27).    Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan  perihal pakaian  adalah  sarabil.  Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya.  Hanya  dua  ayat yang  menggunakan  kata  tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai  pakaian  yang  berfungsi  menangkal  sengatan  panas, dingin,  dan  bahaya  dalam  peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan dialami  oleh  orang-orang  berdosa  kelak  di  hari kemudian: pakaian mereka  dari  pelangkin.  Dari  sini  terpahami  bahwa pakaian  ada  yang  menjadi  alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena  yang  bersangkutan  tidak  menyesuaikan  diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.  

Saling Pandang Antara Pria dan Wanita


 Allah menciptakan seluruh makhluk hidup  berpasang-pasangan, bahkan  menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:   "Maha Suci  Allah  yang  telah  menciptakan  pasang-pasangan semuanya,  baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun  dari  apa  yang  tidak  mereka  ketahui" (Yasin: 36)   "Dan  segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)    Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia  diciptakan  berpasang-pasangan,  terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga  kehidupan  manusia  dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain,  sebagai  fitrah  Allah untuk manusia.   Setelah  menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu  pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab, secara hukum fitrah, tidak mungkin ia  (Adam)  dapat  merasa bahagia  jika  hanya  seorang  diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.    Seperti telah saya  singgung  di  muka  bahwa  taklif  ilahi (tugas  dari  Allah)  yang  pertama  adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara  bersama-sama,  yakni  Adam dan istrinya:   "... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang  banyak  lagi  baik  dimana saja  yang  kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan  kamu  termasuk  orang-orang  yang  zalim." (al-Baqarah: 35)   Maka  hiduplah  mereka  didalam surga bersama-sama, kemudian memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat  kepada  Allah bersama-sama,  turun  ke  bumi bersama-sama, dan mendapatkan taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:   "Allah  beffirman,   Turunlah   kamu   berdua   dari   surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka  jika  datang  kepadamu  petunjuk  dari-Ku,  lalu barangsiapa  yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)    Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki  selalu membutuhkan  perempuan,  tidak  dapat  tidak;  dan perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat  tidak.  "Sebagian kamu  adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.   Karena itu, tidaklah  dapat  dibayangkan  seorang  laki-laki akan  hidup  sendirian,  jauh  dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar  dari  keseimbangan  fitrah  dan  menjauhi kehidupan, sebagaimana cara hidup kependetaan yang  dibikin-bikin  kaum Nasrani.  Mereka  adakan  ikatan  yang sangat ketat terhadap diri mereka dalam kependetaan ini  yang  tidak  diakui  oleh fitrah  yang  sehat  dan syariat yang lulus, sehingga mereka lari dari  perempuan,  meskipun  mahramnya  sendiri,  ibunya sendiri,  atau  saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas diri mereka  melakukan  perkawinan,  dan  mereka  menganggap bahwa   kehidupan   yang  ideal  bagi  orang  beriman  ialah laki-laki  yang  tidak  berhubungan  dengan  perempuan   dan perempuan  yang  tidak  berhubungan  dengan laki-laki, dalam bentuk apa pun.    Tidak  dapat  dibayangkan  bagaimana   wanita   akan   hidup sendirian  dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?   "Dan  orang-orangyang  beriman,  laki-laki  dan   perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (at-Taubah: 71)    Telah saya kemukakan pula pada bagian  lain  dari  buku  ini bahwa  Al-Qur'an  telah  menetapkan  wanita - yang melakukan perbuatan keji secara terang-terangan - untuk  "ditahan"  di rumah  dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang dapat  memberikan  kesaksian  kepadanya. Hukuman ini terjadi sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan  diwajibkannya hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:   "Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah  ada  empat  orang  saksi  diantara   kamu   (yang menyaksikannya).   Kemudian  apabila  mereka  telah  memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)  dalam rumah  sampai  mereka  menemui  ajalnya,  atau  sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)    Hakikat lain yang wajib diingat di sini -  berkenaan  dengan kebutuhan  timbal  balik antara laki-laki dengan perempuan - bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah  masing-masing dari  kedua  jenis  manusia  ini  rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati  yang  instinktif. Dengan  adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan),  dan   reproduksi,   sehingga   terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.    Kita   tidak   boleh  melupakan  hakikat  ini,  ketika  kita membicarakan  hubungan  laki-laki  dengan   perempuan   atau perempuan   dengan  laki-laki.  Kita  tidak  dapat  menerima pernyataan sebagian  orang  yang  mengatakan  bahwa  dirinya lebih   tangguh  sehingga  tidak  mungkin  terpengaruh  oleh syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.

Andaikata ada orang yang paling takut, itu adalah aku ! Untuk saat ini rasa takutku aku anggap tidak rasional. Pikiranku selalu berkelit dengan rasa takut yang tidak ada dasarnya. Mungkin rasa takut itu hanya pelampiasaan diri yang belum siap menerima apa yang akan terjadi bila…. Rasa takut itulah yang mengungkungku dalam tirani ketakutan aneh tak bernilai.

Haruskah aku takut ? Mungkinkan ketakutan yang aku alami itu juga dialami oleh orang lain ? Apakah orang seusiaku menghadapi rasa takut yang sama seperti apa yang aku alami ? Ah…rasa takut yang tak benar dan harus kusingkirkan segera. Sesegera mungkin !

Wanita…itulah aku. Seorang wanita yang sedang meranjak tua kalau dibilang. Wajar rasanya aku selalu memikirkan apa yang menjadi keinginan hatiku. Sungguh, kalau pun aku katakan aku akan nikah hari ini, apakah aku akan siap dengan semua konsekuensinya ? Wanita…sungguh suatu dilema. Di tengah pinangan orang lain, dia merasa takut untuk melangkah. Dia merasa kalah sebelum dia dikalahkan orang lain. Dia kalah melawan dirinya sendiri.

Jikalau wanita tahu akan Aisyah

yang belum baligh telah dinikahkan dengan Rosulullah

Tak ada kata ‘tidak’ untuk melangkah

Adakah saat ini Zainab ?

Yang dengan hartanya digunakan untuk dakwah Islam

Wanita…Harap dan takut dalam kehidupan bahagia. Selalu menanti dan menunggu setiap yang datang. Dicoba, tetapi gagal. Berulang kali menapaki kepastian, namun timbul kegamangan. Hatinya tiada menentu dan rasa di dadanya gemuruh.

Andaikan wanita itu berpikir bahwa dia tidak sendiri. Dia pun tidak usah bersedih. Berusaha menata hati dengan bermuhasabah diri. Menilik ke kanan dan ke kiri, dia akan ikhlas menerima dengan lapang hati . Dia tidak akan mengeluh dengan keadaan dirinya karena memang bukan untuk itu dia diciptakan. Kalau untuk semua itu wanita ada, maka Allah tidak akan menciptakan Hawa dari rusuk Nabi Adam a.s.

Aktifitas Wanita


 Wanita  adalah  manusia  juga  sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian  dari  laki-laki  dan  laki-laki  merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:   "...  sebagian  kamu  adalah turunan dari sebagian yang lain ..." (Ali Imran: 195}    Manusia merupakan  makhluk  hidup  yang  diantara  tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.    Sesungguhnya Allah Ta'ala  menjadikan  manusia  agar  mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa diantara mereka yang  paling  baik  amalannya. Oleh   karena   itu,   wanita  diberi  tugas  untuk  beramal sebagaimana laki-laki - dan  dengan  amal  yang  lebih  baik secara  khusus  - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:   "Maka  Tuhan  mereka  memperkenankan  permohonannya  (dengan berfirman),  'Sesungguhnya  Aku  tidak  menyia-nyiakan  amal orang-orang  yang  beramal  diantara  kamu,  baik  laki-laki maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)    Siapa  pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:   "Barangsiapa yang mengeryakan  amal  saleh,  baik  laki-laki maupun  perempuan  dalam  keadaan beriman, maka sesungguhnya akan  Kami  berikan  kepadanya  kehidupan  yang   baik   dan sesungguhnya  akan  Kami  beri  balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl: 97}    Selain  itu,  wanita  -  sebagaimana  biasa dikatakan - juga merupakan separo dari masyarakat manusia,  dan  Islam  tidak pernah   tergambarkan   akan   mengabaikan   separo  anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku  dan  lumpuh,  lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.    Hanya saja tugas wanita yang pertama dan  utama  yang  tidak diperselisihkan  lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah  untuk  tugas  itu,  baik secara  fisik  maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau  diabaikan  oleh  faktor  material  dan kultural  apa  pun.  Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita  dalam  tugas  besarnya  ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang  paling  besar,  yaitu  kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).    Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:      Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan    Jika Anda mempersiapkannya dengan baik    Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik    pokok pangkalnya.   Diantara aktivitas wanita ialah memelihara  rumah  tangganya membahagiakan  suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram  damai,  penuh  cinta  dan  kasih  sayang.   Hingga terkenal   dalam  peribahasa,  "Bagusnya  pelayanan  seorang wanita  terhadap   suaminya   dinilai   sebagai   jihad   fi sabilillah."    Namun  demikian,  tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak  ada  seorang  pun yang  dapat  mengharamkan  sesuatu  tanpa adanya nash syara' yang sahih periwayatannya dan  sharih  (jelas)  petunjuknya. Selain  itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.    Berdasarkan prinsip ini,  maka  saya  katakan  bahwa  wanita bekerja  atau  melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau  wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan  tidak  ada  orang  atau keluarga  yang  menanggung  kebutuhan  ekonominya,  dan  dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi  dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.    Selain  itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk   bekerja,   seperti   membantu   suaminya,   mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua orang  putri  seorang  syekh  yang  sudah  lanjut  usia yang menggembalakan  kambing  ayahnya,  seperti  dalam  Al-Qur'an surat al-Qashash:   "...  Kedua  wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak   kami)    sebelum    penggembala-penggembala    itu memulangkan  (ternaknya),  sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)    Diriwayatkan  pula  bahwa  Asma'  binti  Abu  Bakar  -  yang mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk dimasak,   sehingga   ia  juga  sering  membawanya  di  atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.    Masyarakat  sendiri   kadang-kadang   memerlukan   pekerjaan wanita,  seperti  dalam  mengobati  dan  merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri,  dan  kegiatan  lain  yang memerlukan  tenaga  khusus  wanita.  Maka  yang utama adalah wanita  bermuamalah  dengan  sesama  wanita,  bukan   dengan laki-laki.    Sedangkan  diterimanya  (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal  adalah  karena  dalam kondisi  darurat  yang  seyogianya  dibatasi  sesuai  dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.